MALANG, NNC – Dinas Komunikasi dan Informatika (Diskominfo) Kota Malang, Jawa Timur, pada Selasa (6/3/2018), menggelar dialog interaktif dengan tema ”Ayo Gadget-an Tanpa Kecanduan”. Acara itu diselenggarakan sebagai upaya mencegah bahaya kecanduan gawai.
Kepala Bidang Informasi Publik (BIP) Diskominfo Kota Malang Ismintarti mengatakan, “Kecanduan gadget sangat bahaya untuk anak-anak. Salah satu contoh kasus anak kecanduan gadget yang parah terjadi di Bondowoso, Jawa Timur,” kata Ismintarti.
Pada Januari 2018, Poli Jiwa di RSUD Koesnadi Bondowoso telah merawat dua orang, terdiri dari satu siswa SMP dan satu siswa SMA, yang mengalami kecanduan bermain perangkat elektronik, baik gawai maupun laptop. Tingkat kecanduan kedua anak itu sudah tergolong parah.
Salah satu indikasinya adalah membentur-benturkan kepalanya ke tembok ketika sangat ingin menggunakan gawai, namun tidak diizinkan oleh orang tuanya. Bahkan si anak sudah pada taraf tidak mau sekolah.
Kecanduan gawai adalah salah satu efek kemajuan zaman dengan teknologi sebagai anak emasnya. Perlu upaya serius dan serentak agar generasi muda tidak terjebak ke dalam hal-hal negatif.
Salah satu upaya yang patut dicoba adalah dengan melahirkan kembali tradisi lama, yaitu mendongeng. Kebiasaan bercerita yang dilakukan oleh orang tua di malam hari sebelum anak tidur, dapat mengurangi kecenderungan anak menghabiskan waktunya hanya untuk bermain gawai.
Ngebuk, tradisi mendongeng di Malang
Kota Malang adalah kota terbesar kedua di Jawa Timur setelah Surabaya. Kota ini terbentuk sekitar abad ke-8, yaitu sejak zaman Kerajaan Kanjuruhan. Setelah kerajaan tersebut runtuh, wilayah ini juga menjadi Negara Agung bagi Kerajaan Singasari.
Di abad-abad selanjutnya, Kota Malang tetap berdiri kokoh dengan segenap tradisi, seni, dan budayanya. Dari sekian banyak tradisi, ada satu tradisi yang nampaknya sering terlupakan. Tradisi itu adalah kebiasaan orang tua mendongeng bagi anaknya di malam hari sebelum tidur.
Tradisi mendongeng di Kota Malang disebut ngebuk. Istilah tersebut berasal dari kata “kebug” yang artinya tiduran tengkurap dengan kaki dan kepala diangkat sambil mendengarkan cerita dari orang tua atau kakek-nenek.
Tidak diketahui sejak kapan tradisi ini lahir. Bisa jadi, tradisi ini lebih tua dari Kerajaan Kanjuruhan. Jika dilihat dari pola interaksinya, tradisi ngebuk lahir bersamaan dengan lahirnya sistem komunikasi antara orang tua dan anak-anaknya atau sesepuh desa kepada generasi muda.
Melalui bercerita secara lisan tersebut nilai-nilai moral, tata pergaulan, sistem kepercayaan, dan lain-lain, mengalami proses regenerasi. Dengan kata lain, proses reproduksi sosial atau transfer budaya bisa berlangsung antara generasi tua kepada generasi penerus.
Manfaat lain dari tradisi ngebuk adalah unsur kedekatan hati bagi anak-anak. Dengan menyisihkan waktunya melalui ngebuk, orang tua secara langsung memberikan sentuhan hati kepada anak-anaknya. Sentuhan hati tersebut sebenarnya sangat diinginkan anak sebagai wujud kasih sayang.
Sementara dewasa ini, perhatian, sentuhan hati, dan kasih sayang orang tua, justru digantikan oleh peralatan gawai. Anak pun merasa lebih dicintai dan mencintai gawai ketimbang mendengarkan atau bermain dengan orang tua mereka.
Mendongeng menanamkan moral, ajang prestasi, dan karya sosial
Pasca-Gunung Kelud meletus pada 2014, ada satu peristiwa yang sering luput dari pengamatan. Seorang mahasiswi Universitas Brawijaya, Malang, bernama Elis Siti Toyibah (25) keluar-masuk ke tenda pengungsi dan mengumpulkan anak-anak korban letusan Gunung Kelud.
Mahasiswi itu mendapat tugas mata kuliah tentang psikososial untuk membantu mengurangi trauma anak-anak korban letusan. Ia kemudian memilih mendongeng sebagai alatnya. Agar lebih menarik, ia juga menggunakan boneka yang ia beri nama Cetta sebagai media atau alat bantu dongeng.
Tak disangka, sejak peritiwa itu, Elis menjadi terbiasa dan mampu menguasai seni ventriloquistatau seni berbicara tanpa menggerakan bibir. Suara yang keluar seakan-akan suara boneka. Ia kemudian menjadi terkenal dari kemampuannya tersebut.
Kepada berbagai media, ia berharap agar Pemerintah Kota (Pemkot) Malang berkenan memupuk tradisi mendongeng. Menurutnya, Pemkot bisa membangun semacam ruang publik di mana segenap lapisan masyarakat di Malang bisa mendengarkan dongeng dan sekaligus mendongeng.
Selain Elis, ada pula calon kader pendongeng andal di Malang. Namanya Nadya Putri Azizah (11), siswi kelas V SDN Merjosari 1 Kota Malang. Siswi yang terbiasa berhijab ini, selama tahun 2016 dan 2017 berhasil menyabet juara mendongeng tingkat Kota Malang.
Nadya mampu bercerita dengan penuh ekspresi tentang kisah legenda Gunung Arjuna. Sesekali tubuhnya memperagakan pula sosok Arjuna yang terkenal lembut, halus tutur katanya, namun tangguh dan teguh dalam mencapai cita-citanya membangun gunung.
Melalui mendongeng, Nadya ingin menyampaikan pesan kepada teman-temannya agar teguh, tekun, dan fokus belajar, sehingga menghasilkan manfaat di masa mendatang. Hakikat dan tujuan mendongeng telah dipraktikkan oleh Nadya.
Sumber :
Penulis : Taat Ujianto
Editor : Y.C Kurniantoro