Memalukan, Generasi Milenial Tidak Tahu Wayang Suluh?
JAKARTA, NNC – Dalam pidato HUT Kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1966, Presiden Soekarno atau yang biasa dipanggil Bung Karno, mengatakan, “Janganlah melihat ke masa depan dengan mata buta! Masa yang lampau adalah berguna sekali untuk menjadi kaca benggala dari pada masa yang akan datang.”
Salah satu contoh “kaca benggala” yang dimaksud Bung Karno adalah kesenian wayang. Kesenian zaman dahulu (jadul) ini berkembang seiring penyebaran agama Hindu dari India menuju Nusantara. Artinya, cikal bakal wayang di Nusantara mendapat pengaruh budaya dari India.
Catatan paling awal yang bisa didapat tentang pertunjukan wayang berasal dari Prasasti Balitung pada abad ke-9, di mana terdapat kutipan, “Si galigi mawayang buat Hyang Macarita Bhima ya Kumara.” Prasasti tersebut adalah salah satu bukti peninggalan peradaban Hindu di Jawa Tengah.
Namun, karena kejeniusan warga setempat, budaya India khususnya, dalam hal cerita atau lakon yang digunakan diubah menjadi bersifat kedaerahan. Kejeniusan atau kearifan lokal mengubah wajah wayang menjadi beraneka ragam, seperti wayang kulit, wayang orang, wayang klitik, dan lain-lain.
Melalui wayang yang mengisahkan Mahabarata atau Ramayana, penyebaran agama Hindu menjadi lebih efektif dan menyusup dalam tulang sumsum masyarakat Nusantara. Metode yang sama digunakan oleh para Wali Sanga dalam menyebarkan agama Islam di Jawa, bahkan secara masif.
Wayang suluh menjawab kebutuhan pascaproklamasi
Dari sekian banyak jenis wayang, ada satu jenis wayang yang lahir sebagai wujud pemenuhan kebutuhan zaman di masa awal Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Jenis wayang tersebut bernama wayang suluh.
Dalam Konggres Pemuda Republik Indonesia di Madiun tahun 1947, lahir satu kesepakatan untuk menciptakan wayang jenis baru bernama wayang suluh. Wayang ini digagas menjadi salah satu bentuk perjuangan tanpa bersenjata dan dianggap sangat penting pada masa itu.
Jenis wayang ini berusaha “melepaskan diri” dari tradisi wayang-wayang sebelumnya. Maksudnya adalah wayang sebagai budaya kuno, diadopsi tetapi menggunakan tokoh dan kisah yang disesuaikan dengan masa era revolusi kemerdekaan.
Melalui wayang, yang dulu digunakan sebagai media syiar agama, para pemuda pejuang juga ingin mengadopsinya menjadi media syiar perjuangan. Wayang suluh diharapkan bisa menjadi alat penerangan yang mampu menjelaskan arah dan tujuan revolusi kemerdekaan.
Maksud tersebut sesuai dengan arti kata “wayang suluh”, yaitu bayangan yang memberi penerangan. Gambar tokoh yang digunakan adalah tokoh-tokoh pejuang seperti Bung Karno, Bung Hatta, dan Sutan Syahrir. Sebagai tokoh antagonis misalnya tokoh Belanda, Jepang, dan tentara Gurka.
Untuk musik iringan, mengadopsi iringan gamelan yang sama dengan sebelumnya. Modifikasi dilakukan hanyalah untuk modernisasi. Sementara untuk tembang atau lagunya, dikombinasikan dengan lagu bernuansa perjuangan, seperti “Mars Pemuda-Pemudi”, “Sorak-Sorak Bergembira”, dan sebagainya.
Untuk cerita atau lakon yang dimainkan dalam wayang suluh adalah kisah seputar peristiwa di era pergerakan, seperti Sumpah Pemuda, kemudian era menjelang dan sesudah Proklamasi 17 Agustus 1945, Perang Surabaya 10 Nopember 1945, Perjanjian Linggar Jati, dan sebagianya.
Gagasan wayang suluh bukan hanya berhenti dalam wacana dan konsep. Pergelaran sebagai wujud gagasan tersebut, pertama kali diselenggarakan pada 10 Maret 1947 bertempat di Gedung Balai Rakyat Madiun, Jawa Timur. Dalam pergelaran ini diadakan sayembara.
Penonton diajak untuk menentukan nama jenis wayang baru tersebut. Panitia mengusulkan dengan nama “wayang merdeka”. Namun, mayoritas sepakat dengan tetap menyebutnya “wayang suluh”.
Beberapa lembaga kemudian melakukan sosialisasi dan pemasyarakatan wayang suluh. Pada 1 April 1947, Dewan Pimpinan Pemuda (DPP) seluruh Jawa dan Madura mengadakan konferensi. Dalam konferensi itu, sebanyak 52 setel wayang suluh dibagikan kepada wakil DPP.
Masing-masing DPP diharap mengembangkan wayang suluh di daerah mereka masing-masing. Melalui wayang tersebut, anggota DPP diajak untuk ikut menjadikan wayang suluh sebagai seni hiburan atau seni pertunjukan dan sekaligus sebagai media menyebarkan wawasan nasionalisme Indonesia.
Strategi dan model yang sama patut dibuat
Gagasan dan tujuan melahirkan wayang suluh sebenarnya patut ditiru. Di era milenial, generasi muda seperti semakin jauh dari budaya asli Indonesia. Ada lompatan zaman di mana mereka semakin asyik dengan budaya kekinian yang disuguhkan oleh ragam produk teknologi.
Namun di sisi lain, kemajuan teknologi sebenarnya juga memberikan peluang atau potensi untuk menggiatkan kembali budaya asli dan jatidiri Indonesia. Kebangkitan wayang dengan memanfaatkan teknologi patut dipikirkan.
Pemerhati kebudayaan Yulius Setiarto berpendapat, “Konsep wayang suluh harus ditanamkan di lembaga pendidikan formal di semua daerah di Pulau Jawa. Untuk apa? Agar generasi mendatang tidak tercerabut dari akar kebudayaannya sendiri.”
“Saat ini gempuran kebudayaan asing begitu masif, masuk ke pusat-pusat kesadaran masyarakat Indonesia. Ini bisa berakibat pada hilangnya jaridiri bangsa,” kata Yulius kepada NNC di Jakarta, Minggu (19/8/2018).
Tentu saja, cara dan metode untuk menanamkan dan mengajarkan kebudayaan bangsa sendiri, khususnya wayang suluh, perlu disesuaikan dengan situasi dan kebutuhan zaman, misalnya melalui media teknologi informasi.
“Yang penting, nilai-nilai dan ajaran berbasis kearifan lokal dapat meresap ke kalangan generasi muda”, sambungnya. Rasanya memalukan bila generasi milenial tidak mengenal wayang suluh.
Gagasan memajukan wayang suluh, sebelumnya pernah digagas oleh Universitas Negeri Semarang (Unnes). Pada Minggu (5/12/2015), pernah diadakan Pergelaran Wayang Suluh di Balai Pertemuan RW 03, Dukuh Sidorejo, Kelurahan Tambangan, Kecamatan Mijen, Kota Semarang, Jawa Tengah. Kala itu, wayang suluh digunakan sebagai alat penyuluhan tentang bahaya narkoba.
Wayang dimainkan oleh mahasiswa bernama Agusta Prihantoro, mahasiswa Jurusan Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial, Unnes. Ia adalah salah satu generasi muda yang terinspirasi menggunakan wayang sebagai alat perjuangan untuk memerangi bahaya narkoba.
Sumber :
Penulis : Taat Ujianto
Editor : Y.C Kurniantoro
Menarik ulasannya. Wayang dan suluh itu, setahu saya, simbolik. Bisa jadi ikonik sebagai suluh kekinian tanpa kehilangan fungsi pokok wayang yang reflektif dan rasional.